Dewasa ini, dunia
ekonomi menunjukkan gejala-gejala kehancurannya, sebut saja
negara-negara yang menjadi rujukan ekonomi dunia seperti amerika,
inggris, kanada mengalami krisis ekonomi yang begitu parah, padahal
di negara-negara inilah tempat lembaga-lembaga keuangan terbesar yang
notabenenya sebagai pusat lembaga perekonomian dunia.
Namun fakta berkata
lain, meski negara-negara tersebut adalah pelopor perbankan dunia,
dengan teori-teori yang mereka gadang-gadangkan tidak mampu
mempertahankan pertumbuhan dan ketahanan perekonomian negara super
power tersebut.
Banyak di antara para
pakar ekonomi yang berasumsi bahwa ketahanan dan pertumbuhan suatu
negara bergantung kepada lembaga perekomian suatu negara, yaitu
perbankan, apabila perbankan sebuah negara tumbuh dengan pesat dan
subur, maka akan subur pula perekonomian negara tersebut, dan
sebaliknya apabila perbankan hancur dan mati, maka akan hancur pula
perekonomian suatu negara.
Apakah benar demikian?
di sisi lain ada yang berpendapat bahwa nasib ekonomi suatu bangsa
ditopang oleh dunia usaha serta para pelaku usaha negara itu sendiri,
apabila praktek usaha dan para pelakunya hilang dari peredaran sistem
perekonomian, maka negara tersebut akan mati suri, dan perekonomian
akan lumpuh seketika.
Di tengah-tengah hiruk
pikuk pergolakan ekonomi dunia yang sedang kacau balau sedemikian
parahnya, atau dalam istilah yang lagi booming yaitu “cakar
bongkar”, maka munculah sekelompok orang yang mengatas
namakan islam yang berusaha memperjuangkan dan mempopulerkan lembaga
ekonomi berbasis syari’ah, dengan harapan sebagai solusi atau jalan
keluar dari permasalahan yang di hadapi oleh bangsa internasional dan
bangsa indonesia secara khusus, walau pada awal kemunculan, terdapat
pro dan kontra serta penolakan dari lembaga perekenomian tertinggi
indonesia dalam hal ini BANK INDONESIA sebagai regulator perbankan di
indonesia, namun dengan berbagai usaha, pada akhirnya munculah di
antara kerumunan perbankan konvensional perbankan yang berbasis
syari’ah.
Seperti yang kita
saksikan dewasa ini, masyarakat berbondong-bondong hijrah ke
perbankan syari’ah dengan harapan dapat mempertahankan laju
perekonomian mereka, sesuai dengan tuntunan syari’at dan terhindar
dari praktek riba.
Dengan klaim yang
mereka(pelaku perbankan syariah) kemukakan bahwa perbankan syari’ah
akan tetap berdiri, meski perekonomian dunia dalam masa-masa kritis,
karena sistem yang diusung merujuk kepada tuntuntan syari’ah yang
tidak akan terpengaruh terhadap pergolakan ekonomi dunia.
Benarkah klaim yang mereka nyatakan bahwa
perbankan syari’ah yang mereka terapkan sudah benar-benar sesuai
dengan tuntunan syariat yang murni terbebas dari riba?
Artikel ini akan
membahas permasalahan ini secara ringkas, dan mencari serta
memberikan fakta dan data-data yang mengulas inti dari permasalahan
secara gamblang, tinggal bagaimana anda berpikir serta membandingkan
mana dari kedua opini ini yang dapat dipertanggung jawabkan
keabsahannya. Dan apakah status perbankan syariah sudah berjalan
seiring dengan brand yang mereka usung insyaallah.
FAKTA
PERTAMA :
Ketika terjadi berbagai
kemerosotan di dunia perekonomian, baik itu inflasi, harga saham
terjun bebas, embargo barang tambang, konflik global, dan lain-lain,
yang akan pertama kali ambil langka seribu adalah perbankan,
perbankan tidak akan mau mengambil resiko kerugian walau hanya
serupiah pun. Lain halnya dengan pelaku usaha, industri, dan
lain-lain, walau bagaimanapun kondisi ekonomi global, baik itu
inflasi, embargo, saham yang sampai pada titik jenuh, pelaku usaha
akan tetap jalan, pelaku industri akan tetap eksis, walau harus
berjalan dengan tertatih-tatih.
FAKTA KEDUA :
Kalau saja dunia
perbankan vakum dari sistem perekonomian suatu negara, apakah sistem
ekonomi suatu negara akan mati? Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu para
pedagang di pasar tradisional akan berhenti berdagang? Atau
pabrik-pabrik akan berhenti beroprasi, atau para petani akan berhenti
bercocok tanam? Anda tentunya sudah bisa menebak jawabannya.
Bagaimana mungkin hanya dengan hilang perbankan dari dunia usaha akan
mematikan langkah para pelaku usaha? Karena memang pada dasarnya
fungsi perbankan adalah tidak lebih dari penghimpun dan penyalur dana
rakyat, bukan sebagai penghimpun dan penggerak atau pelaku usaha,
jadi dengan ada atau tidaknya perbankan tidaklah cukup untuk
menghentikan keberlangsungan ekonomi bangsa. Mengenai refrensi yang
berkaitan dengan fungsi perbankan akan dibahas pada pembahasan
berikutnya.
FAKTA KETIGA :
Merujuk kepada fakta di
atas, yang berkaitan dengan fungsi perbankan sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat, dapatkah anda bayangkan bagaimana jadinya
bila yang hilang dari sistem ekonomi itu adalah pelaku usaha, pelaku
industri dan yang semacamnya, kemanakah perbankan akan menyalurkan
dana yang dihimpun dari masyarakat sedangkan sasaran satu-satunya
dari dihimpunnya dana tersebut adalah pelaku usaha, karena merekalah
yang akan mengunakan dan mengembangkan dana tersebut?
Ketiga fakta di atas
menunjukkan, bahwa pelaku usahalah yang menentukan keberlangungan
ekonomi bangsa.
Fakta yang selanjutnya
berkaitan dengan legalitas1
perbankan syariah, terkhususnya di indonesia.
FAKTA KEEMPAT:
BI sebagai regulator
perbankan indonesia memberlakukan peraturan bagi perbankan
konvensional berkaitan dengan fungsi bank tersebut yaitu, bank
konvensional berfungsi
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Sedangkan fungsi bank
syariat adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat
dan juga sebagai penghimpun dan penyalur dana sosial yang berupa
sedekah, zakat, qurban, dana bantuan bencana, dan yang serupa.
Dari fakta di atas dapat
kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa antara perbankan konvensional dan
perbankan syari'ah tidak ada perbedaan yang mendasar, hanya saja pada
perbankan syari'ah ditambahkan fungsi lain yang hanya bersifat
pelengkap, agar terlihat singkron dengan penamaannya.
FAKTA KELIMA :
Fakta pertama
berkonsekuensi kepada legalitas praktek perbankan itu sendiri.
Perbankan syariah dengan konsep syar'i yang mereka usung bersama
produk-produknya, sebut saja sistem mudharabah, wadia'ah, dan yang
serupa, tidak mungkin dijalankan sesuai dengan syariat selama
peraturan yang diberlakukan oleh BI di atas tidak dirubah. Karena
apabila fungsi perbankan hanya sebagai penghimpun dan penyalur, tidak
mungkin sistem mudharabah akan dapat di lakukan.
Kecuali fungsi perbankan
dialihkan dari penghimpun dan penyalur menjadi penghimpun dan pelaku
usaha, perbankan memiliki sektor ril, dalam mengembangkan dana yang
telah dihimpun. Bagaimana mungkin pemilik modal dalam hal ini
masyarakat yang telah mempercayakan dananya kepada perbankan dengan
niat mudharobah, secara otomatis status perbankan berubah menjadi
pelaku usaha. Perbankan bukannya mendirikan sektor ril malah
menyalurkan dana tadi kepada pihak lain dan mengaku sebagai pemilik
modal, kemudian hasil dari usaha tadi dibagikan secara menyeluruh
kepada setiap nasabah yang pada dasarnya adalah pemilik modal yang
asli.
Tentunya hasil yang
diterima oleh nasabah lebih kecil, karena hasil dibagi kepada tiga
pihak, kepada nasabah selaku pemilik modal yang asli, bank selaku
penyalur sekaligus mengaku pemilik modal, dan pelaku usaha yang
sebenarnya berstatus peminjam.
Fakta ini menunjukkan
bahwa praktek perbankan syari'ah tidak sesyar'i namanya. Bahkan
banyak di antara masyarakat indonesia terkecoh oleh penamaan ini.
Ini adalah sekelumit dari
fakta-fakta yang ada mengenai praktek perbankan syari'ah yang baru
ditinjau dari sisi keurgenan dan fungsi perbankan tersebut.
Dan dapat dibahas lebih
lanjut dengan merujuk kepada refrensi-refrensi yang lebih terperinci.
1Menurut
syariat yaitu seseuai tuntunan nabi salallahu alaihi wa sallam
bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan saling berbenah dan memperbaiki, dan nasehat dan menasehati.
BalasHapus